Digital First Parenting di Era Viral

Digital First Parenting

Menjadi orang tua di zaman sekarang memang beda jauh dibanding generasi sebelumnya. Kalau dulu orang tua lebih banyak mengandalkan pengalaman keluarga, nasihat orang tua, atau tradisi yang turun-temurun, sekarang ceritanya lain. Generasi milenial dan Gen Z yang mulai memasuki usia menjadi orang tua cenderung mencari jawaban pertama kali lewat internet.

Coba perhatikan saja, ketika anak demam atau sulit tidur, apa yang biasanya dilakukan? Banyak orang tua muda langsung membuka Google, mencari artikel atau video di YouTube, bahkan menelusuri tips singkat di TikTok atau Instagram. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai Digital First Parenting, yaitu pola pengasuhan yang mengutamakan pencarian informasi digital sebelum mempertimbangkan sumber lain.

Tidak bisa dipungkiri, internet memang menawarkan kemudahan. Ribuan artikel, forum diskusi, video parenting, hingga testimoni pengalaman orang tua lain tersedia hanya dalam hitungan detik. Namun di balik itu semua, ada risiko yang tidak boleh diabaikan. Tidak semua informasi yang viral di media sosial benar, bahkan sebagian bisa menyesatkan.

Di sinilah pentingnya peran orang tua untuk bijak. Mengambil manfaat dari kemudahan informasi digital sah-sah saja, tetapi tetap harus disertai kemampuan menyaring. Kalau tidak hati-hati, justru anak yang bisa jadi korban akibat informasi yang salah kaprah.

Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang apa itu Digital First Parenting, mengapa tren ini berkembang pesat, apa risikonya, dan bagaimana cara agar orang tua bisa tetap bijak di tengah banjir informasi digital.

 

Apa Itu Digital First Parenting

Digital First Parenting adalah istilah untuk menggambarkan pola pengasuhan anak di mana orang tua lebih dulu mencari informasi melalui media digital sebelum mempertimbangkan sumber lain. Artinya, ketika menghadapi masalah atau butuh panduan, orang tua cenderung membuka Google, melihat konten di TikTok atau Instagram, membaca forum parenting, hingga mengikuti diskusi di grup WhatsApp.

Pola ini lahir dari perubahan zaman. Generasi milenial dan Gen Z yang kini banyak menjadi orang tua sudah terbiasa hidup dengan internet sejak remaja. Jadi wajar kalau saat mengasuh anak, mereka lebih percaya diri mencari jawaban lewat dunia digital.

Digital First Parenting berbeda dengan cara lama di mana orang tua biasanya bertanya langsung ke orang tua mereka, mertua, atau orang yang dianggap lebih berpengalaman. Sekarang, banyak keputusan diambil berdasarkan informasi yang ditemukan secara online, entah itu artikel kesehatan, tips pola asuh, atau review produk anak.

Namun, Digital First Parenting bukan berarti buruk. Ada sisi positif yang bisa diambil, misalnya akses informasi yang cepat, beragam, dan up-to-date. Tantangannya adalah bagaimana orang tua bisa menyaring informasi agar tidak asal mengikuti tren atau tips yang belum terbukti benar.

Dengan kata lain, Digital First Parenting adalah cermin dari zaman digital yang serba cepat. Orang tua perlu bijak, tidak hanya mencari informasi, tetapi juga memastikan kebenaran dan relevansinya untuk kebutuhan anak.

 

Kenapa Orang Tua Banyak Cari Info di Internet

Di era digital sekarang, mencari informasi jadi sesuatu yang otomatis. Begitu ada masalah kecil saja, misalnya anak rewel atau tiba-tiba muncul ruam di kulit, banyak orang tua langsung buka ponsel dan mengetik pertanyaan di Google. Ada beberapa alasan kenapa kebiasaan ini semakin kuat, terutama pada generasi orang tua muda.

1. Akses cepat dan praktis
Internet selalu ada di genggaman. Tidak perlu menunggu ke dokter atau tanya ke orang tua, jawaban bisa langsung muncul dalam hitungan detik. Praktisnya lagi, informasi bisa dicari kapan saja, bahkan tengah malam ketika anak sedang sakit atau rewel.

2. Banyak konten gratis dan mudah dipahami
Berbeda dengan buku atau konsultasi ke tenaga profesional yang butuh biaya dan waktu, internet menyediakan ribuan artikel, video, dan forum secara gratis. Kontennya juga sering disajikan dengan bahasa sederhana sehingga mudah dimengerti oleh semua kalangan orang tua.

3. Budaya viral dan FOMO (fear of missing out)
Tips parenting sering viral di media sosial. Misalnya cara menidurkan bayi hanya dalam 1 menit, resep makanan anak anti GTM, atau metode cepat membuat anak disiplin. Karena banyak dibicarakan, orang tua jadi penasaran dan tidak mau ketinggalan informasi.

4. Sharing pengalaman orang tua lain yang relatable
Salah satu daya tarik internet adalah adanya forum atau komunitas parenting. Orang tua merasa lebih dekat ketika membaca pengalaman nyata yang mirip dengan kondisi mereka. Hal ini membuat internet jadi tempat favorit untuk mencari solusi.

5. Kurangnya akses informasi langsung
Tidak semua orang tua punya lingkungan yang mendukung atau bisa langsung bertanya ke ahli. Kondisi ini membuat internet jadi satu-satunya jalan untuk menemukan jawaban dengan cepat.

Kesimpulannya, internet menawarkan kecepatan, kemudahan, dan kedekatan emosional yang membuat banyak orang tua lebih dulu mencari informasi di dunia digital. Namun, di balik semua kemudahan itu, ada risiko besar jika informasi yang diperoleh ternyata salah atau tidak sesuai kebutuhan anak.

 

Risiko Digital First Parenting Tanpa Filter

Mencari informasi parenting di internet memang membantu, tetapi ada sisi bahayanya jika orang tua langsung percaya tanpa melakukan pengecekan. Digital First Parenting tanpa filter bisa menimbulkan berbagai risiko, baik untuk orang tua maupun anak.

1. Misinformasi dan hoaks
Internet penuh dengan informasi yang belum tentu benar. Ada banyak tips parenting yang terdengar meyakinkan padahal tidak punya dasar ilmiah. Misalnya, memberi madu pada bayi di bawah 1 tahun agar cepat sehat. Padahal faktanya, madu justru berisiko menyebabkan botulisme yang berbahaya bagi bayi.

2. Tips kesehatan yang salah kaprah
Beberapa konten viral memberikan saran medis yang tidak sesuai standar. Misalnya, penggunaan minyak tertentu untuk mengobati ruam, atau obat tradisional yang dicampurkan tanpa takaran jelas. Jika orang tua langsung mencoba tanpa berkonsultasi ke dokter, anak bisa mengalami iritasi atau keracunan.

3. Dampak psikologis pada anak
Tidak semua metode parenting cocok diterapkan pada setiap anak. Mengikuti tips viral tanpa mempertimbangkan kondisi emosional atau karakter anak bisa membuat anak merasa tertekan. Misalnya, metode disiplin keras yang justru merusak kepercayaan diri anak.

4. Orang tua jadi mudah panik
Membaca banyak informasi di internet kadang membuat orang tua semakin cemas. Contohnya, ketika anak demam, artikel yang berbeda-beda bisa menimbulkan ketakutan berlebihan. Padahal, sebagian besar kasus bisa ditangani dengan perawatan sederhana di rumah.

5. Hilangnya kepercayaan pada intuisi
Saking bergantungnya pada internet, sebagian orang tua lupa bahwa mereka juga punya naluri. Padahal, insting orang tua sering kali bisa jadi panduan penting dalam menghadapi anak, asal tetap dikombinasikan dengan informasi yang benar.

6. Contoh nyata
Beberapa tahun terakhir, sempat ramai tips menidurkan bayi dengan metode tertentu yang viral di media sosial. Banyak orang tua mencobanya karena terlihat efektif. Namun ternyata, metode itu berisiko menyebabkan bayi kekurangan oksigen karena posisi tidur yang tidak aman. Dari sini kita bisa belajar bahwa tidak semua yang terlihat bagus di layar cocok diterapkan di rumah.

Jadi, tanpa filter dan pemahaman yang tepat, Digital First Parenting bisa menjadi bumerang. Alih-alih membantu, justru bisa membahayakan kesehatan dan perkembangan anak.

 

Cara Menyaring Informasi Parenting di Era Digital

Banjir informasi memang bikin bingung. Di satu sisi, internet memudahkan orang tua mendapatkan jawaban cepat. Di sisi lain, tidak semua yang kita baca aman untuk dipraktikkan. Supaya tetap bijak, ada beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan untuk menyaring informasi parenting di era digital.

1. Cek kredibilitas sumber
Sebelum percaya pada tips tertentu, lihat siapa yang menulis atau menyampaikan. Apakah dari dokter anak, psikolog, konselor, atau lembaga kesehatan terpercaya? Kalau hanya berasal dari akun anonim tanpa dasar keilmuan, sebaiknya jangan dijadikan patokan utama.

2. Bandingkan lebih dari satu sumber
Jangan berhenti di satu artikel atau video saja. Cari beberapa referensi dan lihat apakah informasinya konsisten. Kalau banyak sumber terpercaya menyampaikan hal yang sama, kemungkinan besar informasi itu lebih dapat dipercaya.

3. Waspadai klaim instan
Kalau ada tips yang menjanjikan hasil cepat, misalnya “anak langsung nurut dalam 3 hari” atau “tidak pernah sakit lagi setelah minum ramuan ini”, justru patut dicurigai. Parenting bukan proses instan, melainkan perjalanan panjang yang butuh kesabaran.

4. Utamakan sumber resmi
Website kesehatan resmi, jurnal ilmiah, atau portal parenting dari lembaga tepercaya jauh lebih aman dibanding hanya mengandalkan konten viral. Misalnya situs IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) atau WHO.

5. Gunakan logika sehat
Kalau ada tips yang terdengar tidak masuk akal, lebih baik dipertimbangkan ulang. Contoh, memberi makanan padat terlalu dini agar bayi cepat kenyang, padahal bisa mengganggu pencernaan. Logika sehat bisa jadi filter awal sebelum praktik.

6. Konsultasi ke tenaga profesional
Internet bisa jadi panduan awal, tetapi keputusan utama tetap sebaiknya dikonfirmasi ke dokter anak atau psikolog. Konsultasi langsung akan lebih aman, karena kondisi setiap anak berbeda.

7. Jangan hanya ikut-ikutan tren
Viral bukan berarti benar. Sebaiknya pilih informasi yang sesuai dengan kondisi anak, bukan sekadar karena sedang ramai dibicarakan di media sosial.

Dengan menyaring informasi seperti ini, orang tua bisa tetap memanfaatkan internet tanpa terjebak dalam jebakan hoaks atau tips yang berbahaya.

 

Peran Komunitas Parenting Online

Selain artikel dan video, banyak orang tua juga bergabung dalam komunitas parenting online. Komunitas ini biasanya hadir dalam bentuk grup WhatsApp, forum diskusi, atau media sosial yang mempertemukan orang tua dengan latar belakang berbeda. Keberadaannya bisa memberi banyak manfaat, tapi juga punya sisi yang perlu diwaspadai.

1. Kelebihan komunitas parenting online

  • Ruang berbagi pengalaman nyata
    Orang tua bisa saling cerita tentang kondisi yang mereka hadapi. Misalnya pengalaman menghadapi anak yang sulit makan, atau cara menenangkan anak yang tantrum.
  • Dukungan emosional
    Kadang, menjadi orang tua terasa melelahkan. Mendapat dukungan dari sesama orang tua bisa mengurangi rasa stres dan membuat kita merasa tidak sendirian.
  • Akses informasi cepat
    Dengan bertanya di komunitas, orang tua bisa mendapat jawaban instan dari pengalaman orang lain.

2. Kekurangan komunitas parenting online

  • Rentan bias
    Tidak semua pengalaman orang lain cocok untuk anak kita. Kalau langsung diterapkan tanpa pertimbangan, hasilnya bisa berbeda jauh.
  • Misinformasi cepat menyebar
    Tips atau mitos yang salah bisa cepat viral di grup, apalagi kalau diceritakan dengan penuh keyakinan.
  • Tekanan sosial
    Kadang ada rasa “terpaksa” mengikuti cara orang lain supaya tidak dianggap aneh, padahal belum tentu sesuai dengan nilai atau kondisi keluarga sendiri.

3. Cara sehat mengikuti komunitas online

  • Jadikan pengalaman orang lain sebagai referensi, bukan kebenaran mutlak.
  • Selalu cek ulang informasi yang diperoleh, terutama soal kesehatan anak.
  • Batasi waktu ikut diskusi, jangan sampai membuat orang tua tambah cemas atau stres.

Komunitas parenting online bisa menjadi tempat yang sangat membantu jika digunakan dengan bijak. Namun orang tua tetap harus punya filter, agar tidak terjebak dalam arus informasi yang salah atau tekanan sosial yang tidak sehat.

 

Menemukan Keseimbangan Dunia Digital vs Real Life

Mengasuh anak di era digital memang serba praktis. Hampir semua pertanyaan bisa terjawab hanya dengan satu klik. Tapi terlalu bergantung pada internet juga bisa bikin orang tua kehilangan koneksi dengan realita. Di sinilah pentingnya menemukan keseimbangan antara dunia digital dan pengalaman nyata sebagai orang tua.

1. Jangan hanya mengandalkan internet
Internet memang bisa jadi referensi awal, tapi bukan satu-satunya jawaban. Tidak semua kondisi anak bisa diselesaikan dengan tips online. Misalnya, masalah tumbuh kembang anak tetap lebih aman dikonsultasikan langsung ke dokter atau tenaga ahli.

2. Percayai intuisi sebagai orang tua
Orang tua punya naluri alami untuk memahami kebutuhan anak. Naluri ini terbentuk dari interaksi sehari-hari. Jika terlalu sibuk mencari jawaban online, kadang naluri ini jadi terabaikan. Padahal, intuisi sering kali bisa memberi arah yang tepat.

3. Nikmati momen nyata bersama anak
Terlalu fokus mencari informasi di layar ponsel bisa membuat orang tua melewatkan momen berharga bersama anak. Misalnya, waktu bermain, makan bersama, atau sekadar ngobrol ringan. Kehadiran nyata lebih penting daripada sibuk mencari cara ideal di internet.

4. Kombinasikan digital dengan tradisional
Bukan berarti internet harus ditinggalkan. Justru, kuncinya ada pada kombinasi. Ambil manfaat dari informasi digital, lalu sandingkan dengan pengalaman pribadi, tradisi keluarga, dan nasihat orang yang dipercaya. Dengan begitu, pola asuh jadi lebih seimbang.

5. Jadwalkan waktu khusus bebas gadget
Bukan hanya untuk anak, orang tua juga butuh waktu bebas dari layar. Misalnya, saat makan malam atau sebelum tidur. Dengan begitu, hubungan keluarga tetap terjaga tanpa gangguan distraksi digital.

Membangun keseimbangan ini akan membantu orang tua tetap bijak. Internet bisa jadi sahabat dalam pengasuhan, tetapi kehidupan nyata bersama anak tetap harus jadi prioritas utama.

 

Rekomendasi Sumber Parenting yang Kredibel

Supaya tidak salah langkah dalam mengasuh anak, orang tua perlu memilih sumber informasi yang jelas dan bisa dipercaya. Internet memang luas, tetapi tidak semua isinya aman diikuti. Berikut beberapa rekomendasi jenis sumber parenting yang lebih kredibel untuk dijadikan rujukan.

1. Website kesehatan dan parenting terpercaya
Ada banyak portal yang dikelola oleh tenaga profesional atau lembaga resmi. Artikel yang diterbitkan biasanya melalui proses editorial yang lebih ketat sehingga informasinya lebih bisa dipertanggungjawabkan.

2. Buku parenting modern
Meskipun terkesan kuno dibanding internet, buku masih jadi sumber yang valid. Banyak penulis yang merupakan dokter anak, psikolog, atau praktisi pendidikan menuangkan ilmunya secara detail. Buku juga lebih terstruktur, jadi orang tua bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, bukan potongan informasi singkat.

3. Seminar atau workshop parenting
Mengikuti seminar, baik online maupun offline, bisa jadi cara bagus untuk mendapatkan ilmu langsung dari ahlinya. Keuntungannya, orang tua bisa bertanya sesuai kebutuhan dan mendapat jawaban yang lebih personal.

4. Podcast atau video edukasi
Konten edukasi dalam bentuk podcast atau video dari pakar parenting semakin mudah ditemukan. Bentuk penyajiannya ringan dan praktis, cocok untuk orang tua yang sibuk.

5. Konsultasi dengan tenaga profesional
Tidak ada yang bisa menggantikan konsultasi langsung dengan dokter anak, psikolog, atau konselor keluarga. Mereka bisa memberikan pandangan yang lebih spesifik sesuai kondisi anak, bukan sekadar teori umum.

6. Pengalaman pribadi yang tervalidasi
Pengalaman orang tua lain juga bisa jadi inspirasi, tetapi tetap harus disaring. Cari yang sudah terbukti dan sesuai rekomendasi tenaga ahli, bukan sekadar coba-coba.

Dengan mengandalkan sumber yang kredibel, orang tua bisa tetap memanfaatkan teknologi tanpa terjebak dalam tips viral yang belum tentu benar.

 

Kesimpulan

Digital First Parenting adalah fenomena baru yang lahir seiring perkembangan teknologi. Orang tua muda kini lebih dulu mencari informasi lewat internet sebelum bertanya pada orang lain. Hal ini tidak salah, selama tetap disertai dengan sikap kritis dan kemampuan menyaring informasi.

Internet memang bisa jadi sahabat orang tua, menawarkan ribuan tips, trik, dan pengalaman nyata. Namun, tidak semua informasi bisa dipercaya. Risiko misinformasi, hoaks, hingga tips parenting berbahaya selalu ada. Karena itu, orang tua perlu menyeimbangkan penggunaan dunia digital dengan pengalaman nyata, intuisi, dan konsultasi profesional.

Dengan memilih sumber yang kredibel, menggunakan logika sehat, dan tetap percaya pada naluri, Digital First Parenting bisa menjadi alat bantu yang positif dalam mendukung tumbuh kembang anak.

Dan jangan lupa, penggunaan teknologi dalam keluarga juga harus diatur. Salah satunya dengan membatasi screen time anak agar mereka tidak terlalu bergantung pada gadget. Untuk tips lengkapnya, kamu bisa baca artikel berikut: Tips Membatasi Gadget pada Anak.

Pada akhirnya, tujuan utama parenting adalah memastikan anak tumbuh sehat, bahagia, dan percaya diri. Digital First Parenting bisa jadi jalan baru untuk mencapainya, asalkan digunakan dengan bijak.


FAQ tentang Digital First Parenting

1. Apa itu Digital First Parenting?
Digital First Parenting adalah pola pengasuhan anak di mana orang tua lebih dulu mencari informasi lewat internet atau media sosial sebelum bertanya pada sumber lain.

2. Apakah semua tips parenting di TikTok bisa dipercaya?
Tidak. Banyak konten di TikTok hanya berbasis pengalaman pribadi tanpa dasar ilmiah. Sebaiknya cek dulu kebenarannya dari sumber terpercaya atau konsultasikan ke tenaga profesional.

3. Bagaimana cara tahu informasi parenting itu hoaks?
Perhatikan sumbernya. Jika informasi tidak ada rujukan dari dokter, psikolog, atau lembaga kesehatan resmi, kemungkinan besar itu hoaks. Selain itu, hindari tips yang terdengar terlalu instan atau berlebihan.

4. Apa manfaat komunitas parenting online?
Komunitas online bisa jadi tempat berbagi pengalaman dan mendapat dukungan emosional. Namun, informasinya tetap harus disaring agar tidak salah langkah dalam mengasuh anak.

5. Apakah boleh hanya mengandalkan internet dalam mengasuh anak?
Internet boleh dijadikan referensi awal, tetapi keputusan utama tetap sebaiknya dikonsultasikan ke tenaga ahli. Setiap anak punya kondisi unik yang tidak bisa diselesaikan dengan tips umum di internet.

6. Bagaimana cara menemukan keseimbangan antara dunia digital dan nyata?
Gunakan internet sebagai panduan tambahan, tapi jangan abaikan naluri orang tua, pengalaman nyata, dan interaksi langsung dengan anak. Sediakan juga waktu khusus tanpa gadget agar hubungan keluarga tetap kuat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top